Kemudianpada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat diniah Islamiyah (NBDi) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di pulau lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah Organisasi Nahdlatul Wathan. Beliaujuga berhasil menghimpun kekuatan ulama dan kyai dalam satu wadah Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikannya, berikut organisasi-organisasi pemuda, seperti Hizbullah dan al-Mujahidun. Kyai Asyari sendiri kemudian mendirikan pesantren Keras di Jombang. Ayah Hasyim ini berasal dari desa Tingkir, yang masih keturunan dari Abdul Wahid Tidakketinggalan kiprah Beliau dalam membidani organisasi Nahdlatul Ulama’. Secara tidak langsung Beliau memberikan “tongkat musa” kepada Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai perestuan Beliau. Akhirnya, tak lama kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama’ dari organisasi ini, memberikan sumbangsih dalam perumusan Pancasila, UUD 1945. Padaakhir tahun 2001 atau tepatnya pada hari kamis tanggal 05 sawwal 1422 H / 20 desember 2001 M, Syaikhina mendapatkan risalah dari Guru Beliau di Makkah Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi yang isinya sebuah perintah untuk merubah nama Pondok tersebut dengan nama yang telah diistikhorohi dengan nama “ Pondok Pesantren Putra Putrid an Majlis Ta’lim AbahMudlor, begitulah para santri akrab menyapa sosok guru spiritual dan intelektual mereka dalam mengarungi samudra ilmu. Beliau yang bernama lengkap Prof Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, SH. putra dari pasangan H. Muchdlor dan Hj. Nasiyah yang merupakan salah satu keluarga yang berpengaruh, di Desa Kauman, Babat, Lamongan. Dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari adalah salah satu ulama besar indonesia yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 januari 1926. para santri di setiap pondok pesantren di Indonesia berhasil menerima pemikiran beliau. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Jika Anda ingin mengetahui seperti apa pemikiran seseorangdisebut ulama jika diakui masyarakat karena memiliki integritas moral dan akhlaknya yang dilengkapi kedekatan dengan umat. Kedekatan dengan umat itu disimbolkan dengan kepemilikan dan pengasuhan terhadap pesantren atau madrasah, seperti lazim di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).1 Penggunaan istilah ulama perempuan, jika dilihat dari Ehs6wqF. Dalam perhitungan tahun Masehi, 31 Januari 2021 mendatang, Nahdlatul Ulama NU bakal mencapai usia 95 tahun. Tak sedikit peran besar NU untuk mengisi kehidupan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun kebangsaan dan kenegaraan menjadi lebih ramah bagi masyarakat yang plural di Indonesia bahkan dunia. Peran luas NU sudah dicita-citakan sedari awal dideklarasikan pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344. Pembentukan jam’iyyah NU tidak lain adalah sebagai upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren yang sudah ada untuk ditingkatkan dan dikembangkan lebih luas lagi. Keinginan untuk meningkatkan pengabdian secara luas itu terlihat jelas pada rumusan cita-cita dasar di awal berdirinya NU yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ikhtiar sebagai berikut “Mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermadzhab, soepaja diketahoei apakah itoe dari kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah. Menjiarkan agama Islam berazaskan pada madzhab empat dengan djalan apa sadja jang baik, berikhtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam, memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe, dan pondok-pondok, begitoe joega dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada terlarang oleh sjara’ agama Islam.” Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama tahun 1926 pasal 3, halaman 2-3 dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 2010 18 Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usah mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata. Tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Rumusan ikhtiar tersebut merupakan prioritas penting untuk dilaksanakan, baik pada saat NU dideklarasikan maupun hingga saat ini mengingat problem sosial-kemasyarakatan jauh lebih kompleks. Di titik itulah NU dapat didefinisikan bahwa NU adalah Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah organisasi sosial keagamaan Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren -pemegang teguh salah satu madzhab empat- berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah ala madzahibil arba’ah -tetapi juga memperhatikan masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara, dan umat manusia. Choirul Anam, 2010 19 Berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu pada 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan peran yang lebih luas. Peran yang tidak kalah penting ialah perjuangan ulama pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah hingga mencapai kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Penulis Fathoni Ahmad Editor Muchlishon Tulisan ini mencoba membahas secara kritis tentang peran ulama dalam perspektif Nahdlatul Ulama NU. Kajian ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa NU memiliki pandangan tersendiri tentang konsep ulama, mulai dari pendefinisiannya, posisi dan peran ulama khususnya dalam konteks NU sendiri. lebih dari itu NU cenderung dipersepsikan sebagai organisasi yang identik dengan ulama, sesuai dengan namanya. Nampaknya pengidentikan tersebut bukan tanpa landasan, karena memang secara historis NU lahir dari rahim para ulama, utamanya ulama pesantren. Dengan demikian tidak mengherankan jika selanjutnya dalam AD/ART-nya NU menempatkan posisi ulama dalam puncak kepengurusan yang memiliki otoritas khusus. Selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan keagamaan masyarakat, NU memiliki forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masail LBM. Secara struktural LBM merupakan lembaga otonom NU yang berada di bawah koordinasi pengurus syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren. Selanjutnya bahasan dalam kajian ini focus pada beberapa hal, antara lain; pengertian kiai dan ulama dalam perspektif NU dan problematika LBM. Pada focus pertama tulisan ini menelaah secara kritis perspektif NU tentang perbedaan kiai dan ulama serta posisi masing-masing dalam masyarakat. Sementara pada focus kedua tulisan ini mengkaji secara kritis terkait dengan profil LBM, kitab mu"tabarah sebagai refrensi sah dalam forum LBM serta metode pengambilan keputusan di LBM. Untuk bahasan metode pengambilan keputusan di LBM, tulisan ini cenderung secara spesifik mengkritisi mazhab yang dipakai di LBM. Sebagai penutup, dalam tulisan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk lebih baiknya kajian serupa yang lebih baik di masa yang akan datang. Warna hijau sebagai corak Nahdlatul Ulama Sumber kelahirannya pada tahun 31 Januari 1926 di Surabaya, Nahdlatul Ulama NU merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama NU. Motif nasionalisme timbul karena NU lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”. NU pimpinan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Celebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul-Waṭān Pemuda Tanah Air. Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama ANO yang salah satu tokohnya adalah Kyai Muhammad Yusuf yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama NU dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna dan sangat yang terang dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan negara Indonesia, utamanya dalam perlawanan menentang penjajahan Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap tegaknya kemerdekaan Nahdlatul Ulama Dalam mengusir penjajahan BelandaNahdlatul Ulama NU dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan senantiasa dilandasi oleh dasar syariat Islam dan nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari atas nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi, hal ini dapat kita lihat bagaimana latar belakang Nahdlatul Ulama ini lahir, bagaimana peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan keutuhan NKRI. NU pimpinan KH. Hasyim Asy'ari sangat menjunjung tinggi nilai nilai kebangsaan, nasionalisme yang berdasarkan atas syariat Islam. Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-benih ketidakpuasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlatul Ulama NU. Ditambah adanya beberapa program kristenisasi yang dilakukan oleh penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan Nahdlatul Ulama bangkit menghimpun laskar-laskar kekuatan ḥizbullāh untuk melawan penjajahan Belanda yang dianggap kafir dan zalim. NU dengan segala kekuatan yang ada pada tingkat komunitas masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian karena kekuatan NU ini semakin lama semakin kuat, maka oleh penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh politiknya. Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan santrinya sudah bersiap-siap menyusun kekuatan. Laskar Ḥizbullāh Tentara Allah dan Sabīlillāh Jalan Allah didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Ḥizbullāh berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Adapun laskar Sabīlillāh dipimpin oleh KH. Masykur, dia adalah pemuda pesantren dan anggota Ansor NU ANU sebagai pemasok paling besar dalam keanggotaan Ḥizbullāh. Peran kiai dan santri dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA Pembela Tanah AirMenurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali, tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakan bila suatu saat diserang oleh orang kafir. Oleh karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks melawan penjajah Belanda, memberikan fatwa jihad mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir Nahdlatul Ulama sebagai panitia persiapan Nahdlatul Ulama NU mempunyai arti penting dalam perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang menghasilkan dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta”. Syukurlah rumusan “Atas berkat rahmat Allah“ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, seperti kita pahami “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur, bahwa mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya Bung Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya tersebut. Menurut KH. Wahid Hasyim, bahwa toleransi yang dilakukan oleh NU dan tokoh-tokoh pejuang Muslim lain yang menerima untuk menghapus “tujuh kata” dan menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia Timur, itu semua merupakan pengorbanan dan perjuangan para ulama NU demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan kesatuan NKRI. Kita perlu ingat kembali, bahwa setelah “Piagam Jakarta” ditetapkan, masih ada sebagian anggota BPUPKI yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri menegaskan “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah jelas bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada keTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima oleh Panitia ini”. Inilah debat panjang yang akhirnya menelorkan sikap kompromis yang sebaik-baiknya antara kaum muslimin dan kristen. Sehingga panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin dengan nama “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, hal ini supaya dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak Jakarta adalah cikal bakal materi Pembukaan UUD 1945 oleh karena materi Piagam Jakarta kemudian dijadikan materi pembukaan preambule UUD 1945. Piagam Jakarta berisi pola kalimat proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama, beliau melakukan langkah dengan menggelar rapat di Taman Raden Saleh Jakarta pada tanggal 13-14 September 1944. Sebulan kemudian, Masyumi mengadakan rapat khusus dengan kesepakatan untuk mengajukan resolusi kepada Jepang agar segera mempersiapkan umat Islam Indonesia untuk siap menerima saat tentara Negara belum efektif terutama jalur komandonya, Laskar ulama dan santrinya telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Ḥizbullāh dengan dukungan struktur Nahdlatul Ulama NU dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan. Sebagai bentuk dukungan, laskar tetap loyal terhadap negara, ini ditandai dengan meleburnya laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh NU ke dalam TNI dan terus aktif terlibat dalam berbagai serangan umum terhadap markas Belanda. Kegigihan para pejuang TNI dan laskar Ḥizbullāh, Sabīlillāh NU menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluhlantahkan oleh kolonial Belanda. Perjuangan ini akhirnya membuahkan hasil dengan diakuinya kedaulatan negara Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar KMB, yang hasil keputusannya adalah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan negara Indonesia dan kemerdekaannya secara penuh dengan tidak bersyarat dan tidak dicabut Ulama NU pimpinan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme yang berdasar atas syariat Islam alā Ahlu al-sunnah wal al-jamā’ah. Sebelum negara Republik Indonesia merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Celebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi Kiai-Kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Dari rahim NU juga lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar-laskar ḥizbullāh Tentara Allah dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara 1909, dan di kalangan orang tua sabīlillāh Jalan menuju Allah yang dikomandoi oleh KH. Masykur. Prinsip Nahdlatul Ulama NU terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untuk senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespon berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negatif globalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatisme, radikalisme, konflik ras dan agama yang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, NU merasa perlu untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. - Surabaya, 31 Januari 1926, tepat hari ini 92 tahun lalu. Sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab Hasbullah 1888-1971. Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu. Tapi dalam kesempatan ini, mereka tengah memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi yang gayal, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah. Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, atau keagamaan. Tetapi baru setelah NU didirikan, sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. NU berkembang cepat pada awal 1940-an dan mendaku sebagai organisasi Islam terbesar setanah air. Belum pernah terjadi dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Banyak organisasi Islam modernis didirikan pada kurun waktu 1910-an hingga 1920-an. Yang terbesar di antaranya adalah Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Muhammadiyah merumuskan pola aktivitas yang kemudian banyak ditiru kaum modernis lainnya seperti Persatuan Islam Persis dan al-Irsyad. Polarisasi Tradisionalis-Modernis Sepanjang dua dekade pertama abad ke-20, pembicaraan tentang posisi kaum tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan intelektual. Kedua pihak berusaha menemukan persamaan dan membangun saling pengertian. Hal ihwal ini berubah tajam pada awal 1920-an, ketika persaingan muncul di antara kedua pihak. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab polarisasi ini. Salah satu yang paling utama adalah kritik kaum modernis terhadap otoritas kiai. Seperti dijelaskan Harry Jindric Benda dalam The Crescent and the Rising Sun 1983, mereka tidak hanya mempertanyakan kompetensi kiai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan berkaitan dengan hukum agama, tetapi juga menyerang budaya “santri berbeda dengan kiai”. Kritik itu ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh para kiai tradisionalis dan pendukungnya yang balik menyerang dengan mempertanyakan motivasi dan kebenaran ilmiah pemikiran kaum modernis hlm. 31. Selain itu, ekspansi organisasi-organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pondok pesantren dan keluarga kiai yang mengendalikannya. Kaum modernis sukses merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya menjadi pendukung materiil dan keuangan kiai. Kaum tradisionalis menganggap bahwa tantangan keagamaan yang dikombinasikan dengan tantangan materiil ini sebagai ancaman terhadap kepemimpinan kiai di tengah umatnya. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 2003, memburuknya hubungan sangat jelas terlihat dalam Kongres al-Islam yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 1922, yang dihadiri perwakilan dari kelompok-kelompok Islam terbesar. Upaya untuk mencapai kesepakatan dalam hal reformasi pendidikan dan prasyarat melakukan ijtihad berubah menjadi acara saling menghujat di antara kedua pihak hlm. 31. Kaum modernis menuduh kaum tradisionalis sebagai penganut politeisme musyrik dan kaum tradisionalis menuduh kaum modernis sebagai kafir. Perwakilan golongan tradisionalis meninggalkan kongres itu dengan menyimpan kecurigaan yang kuat terhadap kaum modernis dan menolak turut serta dalam kongres-kongres al-Islam selanjutnya hlm. 32. Permusuhan di antara kedua aliran itu semakin memuncak dua tahun selanjutnya. Mereka berselisih pendapat mengenai siapa yang akan mewakili Indonesia dalam Muktamar Dunia Islam, yang akan diselenggarakan di Mekkah pada 1926. Tujuan muktamar itu adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya menyambut baik rezim baru tersebut, tetapi kaum tradisionalis khawatir apabila Ibnu Saud yang puritan akan membatasi ritual dan praktik mazhab Syafi’i. Dalam Kongres al-Islam tahun 1925 di Yogyakarta, seperti didedahkan Gaffar Karim dalam Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia 1995, utusan tradisionalis dibuat marah oleh kurangnya dukungan dari kaum modernis terhadap usulan mereka agar Ibu Saud diminta menjamin kebebasan cara beribadah bagi semua umat muslim di Mekkah. Mereka merasa lebih kecewa lagi ketika konferensi para pemimpin modernis pada awal Januari 1926 di Cianjur, Jawa Barat, dan Kongres al-Islam pada Februari 1926 di Bandung memutuskan untuk tidak mengikutsertakan kaum tradisionalis dalam delegasi Hindia Belanda ke Hijaz hlm. 50. Peristiwa itu meyakinkan banyak kiai tentang perlunya utusan tersendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Dengan maksud inilah, Wahab Hasbullah—atas persetujuan Hasyim Asy’ari—mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya pada akhir Januari 1926. Tujuan jangka pendek pertemuan itu adalah mensahkan terbentuknya Komite Hijaz yang akan mengirim delegasi ke kongres Mekkah untuk mempertahankan praktik-praktik kaum tradisionalis. Setelah hal itu disetujui, kemudian diputuskan untuk mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama sebagai representasi Islam tradisional. Manfaat langsung dari keputusan ini ialah semakin kuatnya otoritas Komite Hijaz. Karena mereka dapat mengaku berbicara atas nama organisasi permanen yang beranggotakan para ulama Hindia Belanda dan bukan sekadar sebuah komisi ad hoc. Tujuan jangka panjangnya adalah menciptakan lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan mengembangkan respons kaum tradisionalis terhadap ancaman kaum modernis. Nama dan struktur organisasi baru itu menunjukkan adanya dominasi peran para ulama. Pengurus besar Nahdlatul Ulama atau PBNU terbagi atas dua badan, yaitu Syuriah atau Badan Keulamaan, yang terdiri dari para ulama; dan Tanfidziah atau Badan Eksekutif, yang sebagian besar terdiri dari para organisatoris atau Muslim awam. Badan Syuriah diberi wewenang yang sangat besar di bidang legislatif dan keagamaan, sedangkan Tanfidziah memegang peran administratif. Menurut Lathiful Khuluq dalam Fajar Kebangunan Ulama Biografi Hasyim Asy’ari 2000, Hasyim Asy’ari, ulama yang paling disegani dari kelompok pendiri, kemudian dipilih sebagai Ketua Syuriah dan diberi gelar Rais Akbar Ketua Tertinggi. Achmad Dachlan dari Kebondalem ditunjuk sebagai wakilnya, sedangkan Wahab mengisi posisi penting ketiga sebagai Katib Sekretaris hlm. 79. Kebanyakan anggota Syuriah berasal dari Jawa Timur. Banyak di antara mereka yang mempunyai kaitan dengan Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdhatut Tujjar—tiga organisasi pendahulu Nahdlatul Ulama. Anggota Tandfidziah sebagian besar adalah pengusaha kecil atau tuan tanah. Pembedaan antara ulama dan Muslim awam juga berlaku dalam keanggotaan pada umumnya, dengan memberikan hak-hak khusus bagi para ulama. Reaksi terhadap terbentuknya NU sangat beragam. Banyak kaum modernis yang menaruh kecurigaan dan berkeyakinan bahwa pemerintah kolonial telah membantu pembentukannya untuk menyaingi organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. NU kemudian secara sah diakui pemerintah kolonial pada 1930. Hubungan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis semakin memburuk sepanjang akhir 1920-an hingga awal 1930-an. Kaum modernis menuduh NU berkolusi dengan Belanda. Forum terbuka untuk membahas masalah-masalah agama sering berubah menjadi perdebatan sengit dan saling caci maki. Di daerah tertentu bahkan sampai muncul ancaman fisik terhadap kelompok muslim saingannya. Ekspansi ke Luar Jawa lewat Jalur Kultural Dalam Nalar Politik NU & Muhammadiyah Over Crossing Java Sentris 2009, Suaidi Asyari menekankan soal penyebaran nilai-nilai NU melalui jalur kultural. "NU kultural", sebut saja begitu, mengacu pada Islam tradisionalis yang pada umumnya dibayangkan sebagai hubungan “imajinatif” dengan NU. Hubungan ini tidak teridentifikasi oleh keanggotaan atau melalui keterlibatan dalam struktur pengurus NU. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah seperti NU akan merasa bahwa mereka terafiliasi dengan NU lebih dari organisasi Islam lain apa pun hlm. 115. Begitu pula sebaliknya. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah yang sama dengan platform organisasi NU, akan diklaim sebagai pengikut NU. Ekspansi cabang NU ke luar Jawa cenderung mengikuti pola hubungan ini hlm. 116. Menurut Martin van Bruinessen dalam NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru 1994, pada 1942, terdapat 120 cabang dengan lebih dari pengikut. Mayoritas cabang NU pada periode awal berada di Jawa dan Madura. Di antara enam puluh tiga cabang NU sebelum 1930, hanya sepuluh cabang yang berada di luar Jawa hlm. 41. Ekspansi cabang NU di luar Jawa mengikuti pola perkembangan struktur pemerintahan Republik Indonesia. Ekspansi macam ini, dalam hal tertentu, meneruskan struktur pemerintahan kolonial. Sementara sebagian besar lainnya mengikuti struktur pemerintahan yang baru kapan dan di mana pun pemerintah membentuk struktur pemerintahan baru, selalu diikuti pembentukan pengurus baru NU. Pola ini masih berlaku hingga sekarang. Demikianlah, jumlah pengurus NU umumnya sama dengan jumlah unit pemerintahan, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten di mana terdapat Muslim tradisionalis dalam jumlah yang signifikan. Pada tingkat provinsi, pengurus NU disebut Pengurus Wilayah PW. Di tingkat kabupaten disebut Pengurus Cabang PC. Pada level kecamatan terdapat Majelis Wakil Cabang MWC. Sementara di tingkat terendah terdapat Pengurus Ranting. Akomodasi, Militansi, Nasionalisme Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik 1998 menjelaskan bahwa Peristiwa Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 membuat keputusan yang menarik dalam kaitan dengan pembelaan negeri dari ancaman musuh bahwa Indonesia adalah negeri Muslim dar al-Islam. Kondisi Indonesia yang dijajah Belanda tidak menghalangi NU membuat keputusan itu. Karena kenyataannya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan umat Muslim bebas menjalankan syariat agama hlm. 319.Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa membela negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dari ancaman musuh adalah wajib. Walaupun syariat Islam tidak berlaku secara formal di Indonesia, tetapi negeri ini dulunya merupakan negeri Islam yang diperintah oleh raja-raja Islam dan kaum Muslim bebas menjalankan agama. Perihal ini menjadi alasan mengapa NU membuat keputusan untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman timbulnya anarki yang lebih besar tanpa melihat sistem kekuasaan yang berlaku. Menjelang kemerdekaan Indonesia, NU melalui wakil-wakilnya turut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Pergulatan perjuangan kemerdekaan itu lalu disusul Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Muslim membela negara yang baru diproklamasikan sebagai jihad fi sabilillah. Sikap NU ini merupakan tahap lanjutan dari sikap terdahulu. Sebelumnya, NU mengakui tumpah darah dan tanah air Indonesia sebagai wilayah yang harus dilindungi karena wilayah itu adalah wilayah negeri Islam. Maka, ketika kemerdekaan Indonesia tercapai dan diakui sebagai negara berdaulat yang sah, ia harus dibela dari ancaman penjajahan kembali oleh sampai hari ini NU tetap konsisten menyerukan persaudaraan nasional antara rakyat Indonesia dari agama yang berbeda-beda ukhuwah wathaniyah dan membawa kaum ulama memperjuangkan kedamaian. Itulah salah satu peran terbesar NU. - Sosial Budaya Reporter Muhammad IqbalPenulis Muhammad IqbalEditor Ivan Aulia Ahsan p> The article endeavors to trace power relationship between muslim religious leaders ulama and islamic boarding school pesantren in the political dynamics of Nahdlatul Ulama NU. Both entity are not only an essential element needed to pressure political and cultural for NU, but also the National Awakening Party PKB as a political party for nahdliyyin. The existence of organizational conflicts that occurred in the PKB also influence the dynamics of the NU that resulted fragmentation among ulama and pesantren. The implication is there a divergence of politics and culture among ulama and pesantren in the base region of Central Java and East Java. Abstract The existence of ulama and dayah in political dynamics in Aceh has occurred for a long time, simultaneously with the development of Islam in Aceh. Ulama in Aceh has been playing as the main actors behind the successful political indicator in many phases, namely; empire phase, independence phase, new order orde baru phase until the phase of reformation. The doctrines played by ulama through religious languages have received great support from people in Aceh. This study employs the qualitative research approach with three main techniques of data collection, namely interview, observation and documentation. The result showed that there has been the participation from ulama and santri dayah in Aceh during 2019 General Election GE. Such participation was reflected from the full support from ulama by calling up the political machine from santri dayah during 2019 GE, and deciding a political attitude by taking side on one of the candidates by holding a fundamental belief that Islam does not forbid ulama to participate in the political practice. Abstrak Eksistensi ulama dan dayah dalam dinamika perpolitikan di Aceh telah berlangsung sejak lama, seiring berkembangnya Islam di Aceh. Dari berbagai fae perkembangan perpolitikan di Aceh, dari fase kerajaan, fase kemerdekaan, fase orde baru hingga fase reformasi telah ditemukan pula indikator suksesnya politik di Aceh akibat permainan aktor utama yaitu ulama . Ulama melalui doktrin-doktrin yang disebarkan melalui bahasa-bahasa agama, sehingga mendapat dukungan penuh dari kalangan masyarakat di Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data tiga macam cara yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat partisipasi ulama dan santri dayah di Aceh pada Pemilu 2019. Partisipasi tersebut tampak terhadap dukungan penuh ulama dengan mengerahkan “mesin politik” yaitu santri dayah terhadap Pemilu 2019, dan mengambil sikap politik berpihak kepada salah satu calon dalam Pemilu 2019 dengan landasan utama berpijak bahwa Islam tidak melarang ulama berpolitik. Keywords ulama, santri, dayah, politics, general election, AcehTaufik AlaminSince the thirteenth century AD, the presence of a new model of Sufism, neo-Sufism, has impacted the infiltration of political identity in the spiritual flow of the tarekat practicing society. The spiritual world of Sufism has experienced a paradigm shift in thinking, from what was originally a movement that balances the hereafter and the worldly things, but in the end this movement is also considered very pragmatic-contextual that enters the socio-political dimension. This article wants to provide a new understanding of how the balanced relationship between Sufism and politics occurs in the Mataraman community, Kediri, East Java. By using the non-participant observer technique, this article produces two things first, the political culture formed in the Kediri Mataraman society has a centralized pattern, where both tarekat congregations and ordinary people devote themselves to any field of social problems to a kiai. Sufi kiai becomes the main role models because they are considered pious people for the Mataraman community. This recognition of the Sufi kiai figure forms a group of socio-political systems. Second, the political pyramid that developed in the people of Kediri City follows a hierarchical-centralized pyramid pattern, where the kiai/murshid tarekat are ordained as the movers and creators of the foremost political culture after the Kediri city government and business bureaucrats. This pattern of social structure becomes the link so that leadership can be achieved and become the material for formulating political the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage raises the minimum age limit for brides from 16 years to 19 years. Responding to this issue, LBM MWC NU Batanghari East Lampung held a bahtsul-masail forum for istinbath al-hukm. Using a qualitative-participatory approach, this article examines the dynamics of the arguments in the forum and finds three crucial issues First, is balig was a prerequisite for a bride and groom? Second, was Aisyah's early marriage common or special? Third, does the State have the authority to restrict marriages? The pro-authority argument rests on the adage of state policy tasharruf al-imam based on maslahah 'ammah. On this basis, the State has the right to prohibit mubah man 'al-mubah, let alone regulating mubah taqyid al-mubah. Meanwhile, the counter argument is based on the privilege of wali as the holder of the right to marry off bride based on nash sharih so the qadhi judge and amir State are no longer authorized. However, the contra camp still affirms the a quo Law because there is marriage dispensation as an exit to achieve individual maslahah. Keywords Indonesia Law Number 16 of 2019, the State's authority, minimum age of bridge, LBM NU, marriage dispensation. Abstrak UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menaikkan batas usia minimal calon pengantin 19 tahun pria dan 16 tahun wanita menjadi 19 tahun untuk semua. Menanggapi isu ini, LBM MWC NU Batanghari Lampung Timur menggelar forum bahts al-masail untuk istinbath al-hukm. Dengan pendekatan kualitatif-partisipatif artikel ini mengkaji dinamika argumen dalam forum tersebut dan menemukan tiga isu krusial Pertama, apakah status balig merupakan syarat calon pengantin? Kedua, apakah pernikahan dini Aisyah berlaku umum atau khushusiyah? Ketiga, apakah negara berwenang membatasi perkawinan? Argumentasi pro-kewenangan berpijak pada adagium kebijakan negara tasharruf al-imam berpijak kepada maslahah 'ammah. Dengan basis ini, negara berhak melarang mubah man' al-mubah, apalagi mengatur mubah taqyid al-mubah. Sedangkan argumentasi kontra berpijak pada previlige wali sebagai pemegang hak menikahkan perempuan dengan berlandas nash sharih sehingga qadhi hakim dan amir negara tidak lagi berwenang. Namun, kubu kontra masih mengafirmasi UU a quo karena ada dispensasi nikah sebagai pintu keluar mencapai maslahah individu. Muhammad MuhammadThe aim of article to descriptive relationship between Nahdhatul Ulama institution and change of political culture in Indonesia. The first, explore many terminology of political culture, type of political culture and political behavior. Secondly, this article to analysis ideology of Nahdhatul Ulama and democracy. The last, this article recommended the new role of Nahdhatul Ulama to contribution in change of political culture in Indonesia. Purwo SantosoReligion plays an important but problematic role in complying with the prevailing global standard of liberal democracy. The root of the problem is actually the shortcut in institutionalizing political party as a modern set up for individual participation in public affairs. Despite its institutional defect, political parties officially serve as the only legitimate channel to enter the state through open competition. Hence, the need to win election resulted in mobilization of religious-based support, and religion serves more as commodity for solidarity making, rather than set of fundamental values. This paper examines the political pactices in bringing the principles of both democracy and religion into daily real life. It particularly focuses on the exercises of commoditizing religion by political parties. This commoditization of religion can be taken as clear evidence, the paper argues, that religion is ill-treated by the underperforming political Kiai dalam Dinamika Politik NU. KarsaDaftar Pustaka AbdurrahmanDaftar Pustaka Abdurrahman. 2009. Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa. Volume 15, Nomor 1 dan Perkembangan Nahdlatul UlamaChoirul AnamAnam, Choirul. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya Bisma Satu Ulama Dalam "KonflikSayfa AchidstiDan TradisiRekonsiliasiAchidsti, Sayfa. 2010. Nahdlatul Ulama Dalam "Konflik", Tradisi, dan Rekonsiliasi. Fikra. Volume 1, Nomor 3 Patricians of NishapurRichard BulietBuliet, Patricians of Nishapur. Cambridge Harvard University Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup KyaiZamakhsyari DhofierDhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta Sosial Politik Kyai di IndonesiaMiftah FaridlFaridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia. Jurnal Sosioteknologi. Volume 6, Nomor 11 dan Perubahan SosialHiroko HorikoshiHorikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta LP3ES.

apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama